Energi
Surya Bisa Dikembangkan Secara Ekonomis
Energi
surya bisa segera dimulai pengembangannya secara besar-besaran di Indonesia
dengan penemuan sel surya (solar-cell) tipe dye sensitive. Teknologi
ini jauh lebih ekonomis dari silikon sehingga tak memerlukan investasi mahal.
"Selama ini, meski Indonesia negara tropis yang sinar mataharinya melimpah ruah, energi surya tak bisa dikembangkan secara optimal karena investasinya sangat mahal dan sel suryanya masih diimpor," kata Pakar Teknik Fisika ITB, Dr. Brian Yuliarto, di sela Konferensi Internasional Advanced Material and Practical Nanotechnology di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Banten, Senin (4/9).
Sel surya tipe dye sensitive menggunakan bahan Titanium Dioksida (TiO2), Seng Dioksida (ZnO2) atau sejenisnya. Material tersebut dapat menggantikan fungsi silikon yang saat ini menghabiskan 70 persen dari harga sel surya itu sendiri.
"Proses pembuatan sel surya dengan silikon memerlukan peralatan khusus yang mahal dan ruang yang bersih sehingga harga sel surya menjadi mahal dan menghambat masyarakat menggunakan tenaga matahari," katanya. Sedangkan, harga TiO2 dan ZnO2, ujar penemu sel surya tipe dye sensitive itu, seperempat lebih murah harga silikon.
"Itulah mengapa dibandingkan dengan harga listrik PLN, listrik dari sistem surya itu lebih mahal 30 kalinya. Jika listrik PLN harus dibayar Rp100 ribu per bulan, maka listrik dari sel surya memerlukan investasi awal Rp3 juta, meski untuk seterusnya tak perlu membayar, namun daya tahannya sudah habis sebelum investasi itu balik modal," katanya.
Namun ia sudah ngaku, jika efisiensi energi surya dari bahan silikon mencapai 24 persen, TiO2 hanya 11 persen, bahkan ZnO2 lebih rendah lagi. Tapi, di masa depan tipe dye sensitive ini akan semakin efisien.
Pada 2008, setelah paten sel surya habis masa berlakunya dan energi surya semakin efisien, ujarnya, maka dunia akan besar-besaran menggunakan sel surya sebagai energi alternatif. "Untuk sekarang, seharusnya sudah dimulai penggunaan energi surya buat lampu-lampu jalan dan rambu lalu lintas di Jakarta," ujarnya.
"Selama ini, meski Indonesia negara tropis yang sinar mataharinya melimpah ruah, energi surya tak bisa dikembangkan secara optimal karena investasinya sangat mahal dan sel suryanya masih diimpor," kata Pakar Teknik Fisika ITB, Dr. Brian Yuliarto, di sela Konferensi Internasional Advanced Material and Practical Nanotechnology di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek) Serpong, Banten, Senin (4/9).
Sel surya tipe dye sensitive menggunakan bahan Titanium Dioksida (TiO2), Seng Dioksida (ZnO2) atau sejenisnya. Material tersebut dapat menggantikan fungsi silikon yang saat ini menghabiskan 70 persen dari harga sel surya itu sendiri.
"Proses pembuatan sel surya dengan silikon memerlukan peralatan khusus yang mahal dan ruang yang bersih sehingga harga sel surya menjadi mahal dan menghambat masyarakat menggunakan tenaga matahari," katanya. Sedangkan, harga TiO2 dan ZnO2, ujar penemu sel surya tipe dye sensitive itu, seperempat lebih murah harga silikon.
"Itulah mengapa dibandingkan dengan harga listrik PLN, listrik dari sistem surya itu lebih mahal 30 kalinya. Jika listrik PLN harus dibayar Rp100 ribu per bulan, maka listrik dari sel surya memerlukan investasi awal Rp3 juta, meski untuk seterusnya tak perlu membayar, namun daya tahannya sudah habis sebelum investasi itu balik modal," katanya.
Namun ia sudah ngaku, jika efisiensi energi surya dari bahan silikon mencapai 24 persen, TiO2 hanya 11 persen, bahkan ZnO2 lebih rendah lagi. Tapi, di masa depan tipe dye sensitive ini akan semakin efisien.
Pada 2008, setelah paten sel surya habis masa berlakunya dan energi surya semakin efisien, ujarnya, maka dunia akan besar-besaran menggunakan sel surya sebagai energi alternatif. "Untuk sekarang, seharusnya sudah dimulai penggunaan energi surya buat lampu-lampu jalan dan rambu lalu lintas di Jakarta," ujarnya.
PERASAAN galau bercampur
waswas menghinggapi Wilson Walery Wenas PhD ketika berbincang dengan Kompas, tentang
masa depan listrik tenaga surya di Indonesia. Kepala Laboratorium Riset
Semikonduktor Institut Teknologi Bandung ini menyatakan, nasib teknologi
listrik tenaga surya yang dikuasai ITB bakal tidak ada manfaatnya apabila
pemerintah terlambat menurunkan kebijakan pengembangannya.
Ironisnya lagi, tutur Wilson,
jika kemudian Indonesia yang memiliki potensi tinggi di bidang teknologi sel
surya (solar cell) ini lalu cuma jadi pasar potensial dari negara tetangga,
seperti Thailand, Korea, dan Jepang, yang giat mengembangkan teknologi ini.
"Kalau pemerintah
terlambat menurunkan kebijakan pengembangan listrik tenaga surya seperti halnya
saat pemerintah enggan memanfaatkan teknologi telepon seluler (handphone/ HP)
yang dikuasai ITB sejak 15 tahun lalu, sudah dapat diduga nasib teknologi solar
cell ini akan sama dengan teknologi HP. Indonesia hanya akan menjadi pasar bagi
negara produsen solar cell. Ini namanya tragedi," kata Wilson
PERKEMBANGAN pesat sedang
terjadi pada teknologi listrik tenaga surya. Pada saat Jepang mulai
mengembangkan pada tahun 1974, harganya berkisar 20.000 yen per watt peak (Wp).
Tahun 1985, harga turun menjadi 1.000 yen per Wp, dan dengan kemajuan pesat
dalam riset dan pengembangan teknologi, harga per Wp turun lagi saat ini
mencapai 140 yen.
Harga ini masih lebih mahal
dari harga listrik konvensional sebesar 100 yen per Wp, tetapi mulai tahun 2020
harga pembangkitan listrik sel surya ini sudah bisa lebih murah 50 persen dari
listrik konvensional.
Wilson yang juga Wakil
Direktur Basic Science Center Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, dengan total
intensitas penyinaran rata-rata 4,5 kWh per meter persegi per hari, Indonesia
tergolong kaya sumber energi Matahari. Di samping itu, karena letaknya di
khatulistiwa, Matahari bersinar di Indonesia per tahun berkisar 2.000 jam.
Sementara itu, menurut data
tahun 1997 dari Ditjen Listrik dan Pengembangan Energi, kapasitas terpasang
listrik tenaga surya di Indonesia baru mencapai 0,88 MW dari potensi yang
tersedia 1,2 x 109 MW29.
Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) sudah mengembangkan aplikasi teknologi sel surya
dengan menggunakan panel sel surya impor sejak tahun 1980. Sistem fotovoltaik
ini dipasang di daerah terpencil seperti Sumba, Sipirok di Sumatera Utara,
Pelaw di Maluku, Kepulauan Seribu, Nusa Penida, dan beberapa daerah terpencil
lainnya.
Riset dan aplikasi sel surya
juga sudah dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Lembaga
Energi Nasional (LEN) dengan fokus riset masih berbasis silikon. Sedangkan di
Departemen Fisika ITB dikembangkan sel surya silikon amorf dengan teknik
penumbuhan menggunakan peralatan plasma enhanced chemical vapor depodotion.
Teknologi ini mampu memperoleh efisiensi sebelum terdegradasi sekitar 11
persen.
Untuk memasuki tahap produksi
ekonomis, efisiensi sel surya silikon amorf harus mencapai 10 persen.
Peningkatan dimaksud sangat mungkin karena masih banyak variabel fabrikasi yang
belum dioptimalkan. Di samping itu, menurut Wilson, ia sedang mengembangkan sel
surya baru dengan struktur berbasis material ZnO dan Si. Sel surya ini akan
difabrikasi dalam ukuran besar dan diharapkan akan menjadi modul sel surya
pertama yang dibuat secara mandiri di Indonesia.
Wilson dalam disertasi
berjudul Study on Textured ZnO Thin Film and Its Application to Sollar Cells
untuk gelar doktor pada tahun 1994 di Department of Electrical and Electronic
Engineering, Tokyo Institute of Technology, menawarkan tekstur bergerigi,
selama ini rata, sebagai usulan baru dalam pengembangan sel surya. Teori baru
itu ternyata mampu membuktikan dengan menggunakan lapisan bergerigi, sinar
Matahari yang terserap ke dalam sel surya tingkat efisiensinya meningkat,
sekitar 15-20 persen dari potensi awal.
Penemuan ini cukup
spektakuler sehingga dimuat di Nihon Kogyo Shimbun edisi 12 April 1991.
"Besok hari, sesudah dipublikasi koran, laboratorium tempat saya meneliti
didatangi kalangan industriwan Jepang," kata Wilson yang dalam penelitian
dibimbing oleh Makato Konagai.
Sekarang material ini telah
digunakan secara luas di industri sel surya di Jepang, yaitu Fuji Elektrik dan
Showa Sel. Penemuan itu kemudian dipatenkan atas namanya, Wilson Walery Wenas,
nyong Manado kelahiran Desa Suwaan, Kecamatan Airmadidi Tonsea, yang masih
membujang.
"PENEMUAN itu bukan
puncak pencarian saya sebagai ilmuwan," kata Wilson. Hingga kini dia masih
terus dalam proses pencarian dan pendalaman.
Beberapa penemuan terbarunya
akan dipublikasikan awal Januari 2004 di Konferensi Internasional Ke-14
Photovoltaic di Bangkok, Thailand, di depan pakar sel surya, termasuk Prof
Martin Green dari Australia. Pada forum itu, Wilson bersama mahasiswanya,
Syarief Riyadi, untuk pertama kali memaparkan teori baru lagi mengenai cara
kerja sel surya baru berstruktur Zno, Si02, dan Si.
Sel surya ini cukup ekonomis,
sudah dibuat di beberapa negara termasuk di ITB, namun sampai saat ini belum
ada penjelasan teoretis tentang cara kerjanya. "Kami diundang sebagai
penemu teori dan kami siap menjelaskan teori itu di hadapan para ahli
semikonduktor dunia," katanya.
Kehadiran Wilson di Bangkok
sekaligus menunjukkan bahwa peneliti negara berkembang pun dapat berkontribusi
dalam pengembangan ilmu dasar, tidak melulu melaporkan data atau fenomena
eksperimen yang bersifat empiris atau aplikasi suatu teori secara sporadis.
Penjelasan yang sama rencananya juga akan dilakukan di European Photovoltaic
Conference, di Paris, Juni 2004.
WILSON Walery Wenas
dilahirkan tanggal 21 September 1964 dari pasangan Bernhard Gerungan Wenas dan
Jeannette Wuysang. Ia lulus nomor satu (terbaik) di SMA Negeri I Manado,
kemudian masuk ITB, mengambil ilmu fisika.
Sejak menyelesaikan studi
doktor di Jepang pada tahun 1994, Wilson tiga kali menjadi peneliti muda
terbaik Indonesia dalam bidang teknik dan rekayasa, yaitu tahun 1996, 1997, dan
1998, setelah itu diangkat menjadi juri oleh LIPI. Pada tahun 1998 mendapat
penghargaan Dosen Teladan I ITB.
Selain itu, ia pernah diundang
menjadi ilmuwan tamu di Aritsu Companny, Jepang (1999), dosen tamu di Utrech
University, Belanda (2000), dan menjadi pembicara pada seminar fotovoltaik
internasional, selain menghasilkan 125 tulisan ilmiah yang sudah termuat di
berbagai jurnal akademi tingkat dunia.
Untuk disertasi doktornya,
Wilson mengembangkan sel surya jenis a-Si (amorf silikon) dan menghasilkan
rekor efisiensi tertinggi di dunia, sebesar 12,9 persen. Hasil penelitian ini
dianggap terbaik sehingga mendapat penghargaan dari Tokyo Engineering Institute
of Technology dan uang 500.000 yen.
Tiga tahun kemudian, ITB
membuat thin film light emitting diode dari bahan a-Si, yaitu lapisan tipis
yang dapat memancarkan cahaya merah dan kuning, dan biasanya digunakan dalam
peralatan seperti TV layar datar dan layar komputer notebook. Walaupun bukan
yang pertama di dunia, ini salah satu tonggak terpenting di Indonesia untuk
pengembangan teknologi optoelektronik.
Satu keinginan Wilson adalah
melihat adanya suatu industri hi-tech yang strategis di Indonesia, tetapi
langsung menyentuh kehidupan rakyat banyak. Contoh paling dekat adalah industri
sel surya. Siapa berani?
Tata bahasanya sudah cukup baik namun masih ada yang salah
misalnya :
-
Udah seharusnya sudah
-
Ngaku harusnya mengakui
-
Tidak melulu
0 komentar:
Posting Komentar